Minggu, 01 Maret 2009

Pilkada antara Permainan Politik dan Rasionalitas

PILKADA, ANTARA PERMAINAN POLITIK DAN RASIONALITAS

Oleh Novie Indrawati Sagita

Abstract

Democracy as Abraham Lincoln’s said refer to the government by the people. The people government implemented by the democratic mechanism of the election. Through the election, people consign a considerable part of their rights to be properly arranged by selected government or their ruler. Reformation era has bring the changing and democratic education for Indonesian people. Through the direct election, people can determine the ideal political leadership. The election process directly also consist at the local leadership selection or definetly be known as Pilkada.

Pilkada has been implemented in Indonesia since 2005. But the local government selection often times brought forth conflict and disagreement for election result. The conflict refer to impure voting process. The impure voting process indicate that people voted not according to their preferences but presumtive mobilization and political manipulation. By the fact to the pilkada in several territory in Indonesia go through with our reflection to edify and upgrade the democratic quality. Democratic quality can be made by the rational choice of the voters. A set of regulation and emendation of election system couldn’t give any contribution unless the voter give their irrational choice. As Hobbes said that rationality can be an important device to assuring of desirable destination.

Keywords: Election, political game, rational choice

PENDAHULUAN

Robert Dahl (1996), dalam makalahnya mengatakan bahwa teori demokrasi sebagai salah satu sub kajian ilmu politik melibatkan dua aspek yakni demokrasi pada isu empiris dan isu normatif. Namun para sarjana politik jarang sekali memfokuskan perhatian mereka kepada kedua aspek tersebut dan menghubungkannya sebagai satu kesatuan yang kompleks.[1]

Demokrasi pada isu empiris dan isu normatif tersebut tidak lain adalah wacana yang sering kita diskusikan yakni demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Salah satu isu empirik (demokrasi prosedural) adalah dengan adanya pemilihan umum baik pemilihan kepemimpinan nasional maupun kepemimpinan daerah. Sedangkan isu normatif (demokrasi substansial) pada hakikatnya menjelaskan bahwa demokrasi adalah kedaulatan yang dijalankan oleh pemerintah sepenuhnya berasal dari rakyat atau berada ditangan rakyat. Pendapat ini senada dengan pernyataan Abraham Lincoln (dalam pidato tahun 1863) bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat dilaksanakan melalui mekanisme demokrasi pemilihan umum, dimana rakyat menyerahkan sebagian hak-haknya untuk diatur oleh pemerintah atau pemimpin mereka. Dengan demikian, dalam konteks berdemokrasi, maka hubungan antara pemerintah dan rakyat selayaknya dipandang sebagai hubungan antara pemerintah sebagai penerima kekuasaan dan rakyat sebagai pemberi kekuasaan, bukan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai.

Selama 32 tahun silam, kebebasan rakyat memilih pemimpin mereka dibelenggu oleh mekanisme sistem pemilihan perwakilan. Namun reformasi telah membawa suatu perubahan dan pembelajaran berdemokrasi bagi rakyat Indonesia. Melalui sistem pemilihan langsung, rakyat dapat menentukan kepemimpinan politik atas dasar penilaian kapabilitas dan kredibilitas yang memadai. Proses pemilihan secara langsung ini pula terjadi pada pemilihan kepemimpinan kepala daerah atau yang kita kenal dengan istilah pemilihan kepala daerah (pilkada).

PEMBAHASAN

Pilkada sudah dilaksanakan sejak tahun 2005. Namun hasil pelaksanaan pilkada seringkali dinodai oleh beberapa konflik sosial-politik. Adanya tindakan-tindakan yang anarkis seperti pengrusakan beberapa fasilitas pemerintahan, demonstrasi pendukung kandidat yang kalah, hiruk pikuk kampanye, perebutan kotak suara, konflik partai politik, pilkada ulang bahkan pemerintahan daerah yang tidak stabil, dan serangkaian tindakan non konvensional lainnya turut mewarnai konflik pasca pilkada. Baru-baru ini pula tersiar kabar di Kota Tasikmalaya dengan munculnya gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat yang merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintahan terpilih, karena tidak mampu mewujudkan janji-janji selama kampanye. Kenyataan ini sebagai indikasi kualitas demokrasi pada pilkada yang belum sempurna atau rendahnya kualitas demokrasi pada pilkada di negeri kita.

Terjadinya konflik politik dan ketidaksepakatan hasil pilkada merujuk pada proses kegiatan pemberian suara yang tidak murni yang bisa berupa partisipasi politik yang terpaksa, intimidasi, serangan fajar, fanatisme terhadap partai politik, mobilisasi masyarakat seperti mengikuti anjuran tokoh masyarakat atau ulama untuk memilih kandidat tertentu, keterbatasan pilihan kandidat yang akuntabel, terpikat pada pesona slogan, simbol, janji politik, performance kandidat yang umumnya bersifat sesaat dan bahkan maraknya politik uang (money politics). Pemberian suara atas dasar pertimbangan-pertimbangan diatas menunjukkan bahwa rakyat memilih bukan berdasarkan preferensi (pilihan) yang murni melainkan berdasarkan mobilisasi dan manipulasi politik. Pengalaman pilkada di beberapa daerah menjadi renungan bagi kita semua untuk senantiasa memperbaiki pelaksanaan pilkada dan kualitas demokrasinya.

Dalam waktu dekat, masyarakat Jawa Barat akan memilih pemimpin daerah (Gubernur) secara langsung untuk pertama kalinya. Pilkada sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat disambut sukacita oleh berbagai elemen seperti KPUD, kandidat peserta pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada), dan partai politik nampak cukup sibuk bahkan bersemangat mempersiapkan diri untuk menyukseskan pilkada Jawa Barat. Tidak tanggung-tanggung, kandidat yang mencalonkan diri adalah mereka yang kepiawaian politiknya berkaliber lokal sampai nasional. Seperti Bapak Agum Gumelar yang sudah pasti sangat dikenal rakyat Jawa Barat dan kemungkinan tidak akan mengalami kesulitan dalam meraih simpati massa karena popularitasnya. Begitu pula si kasep Dede Yusuf yang dari antah berantah tanpa adanya transparansi dan sosialisasi tanpa memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat pemilih dijadikan salah satu pendamping pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dengan julukan paket Hade!!! (dapat dipastikan perkawinan Ahmad Heriyawan dan Dede Yusuf, berusaha mendulang kesuksesan pilkada Tanggerang yang menggandeng si Doel Anak Betawi, aktor simpatik Rano Karno meraih suara terbesar mengalahkan lawan politiknya secara telak). Namun sayang aktor ganteng Dede Yusuf tidak dapat diketahui kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan serta pengalaman berpolitiknya, tentu tidak bisa diperbandingkan dengan Rano Karno yang cukup banyak berkecimpung dalam kancah perpolitikan di Indonesia sejak jaman Orde Baru. Perlu diketahui, dalam pemilihan tersebut banyak harapan yang digantungkan masyarakat, sebuah harapan akan terjadinya suatu perubahan besar bagi perbaikan kehidupan mereka, baik secara sosial politik dan yang terpenting perbaikan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan. Sehingga penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang bersifat politik dagang sapi atau kita melihat kucing yang baru saja keluar dari karung. Jelas penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mengikuti aspirasi masyarakat yang mana mereka mendambakan pemimpin ideal, tangguh, akuntabel, responsif, dan kapabel di bidang tugas dan kewajibannya. Bukan sekedar popularitas dan tampang yang memesona terutama bagi masyarakat pemilih ibu rumah tangga.

Sampai saat ini yang dilakukan oleh kandidat, partai politik dan organisasi pelaksana (birokrasi dan KPUD) hanyalah sebuah syarat daripada mekanisme demokrasi yang bersifat prosedural (penegakan aturan, menjalani prosedur, serta penertiban administrasi) sedangkan substansi dan kualitas demokrasi itu sendiri ditentukan oleh rakyat pemilih. Yang mana dalam pemilihan langsung, rakyat diminta merubah cara berfikirnya dalam menilai kandidat peserta pilkada secara kritis dan rasional. Karena itulah penekanan terhadap peningkatan substansi demokrasi dalam arti mewujudkan demokrasi yang berkualitas pada pilkada menjadi prioritas utama kita semua. Pernyataan ini senada dengan argumen yang dinyatakan David Beetham bahwa partisipasi politik warganegara yang aktif, kritis dan rasional dalam memberikan suara pada pemilu dan beberapa tindakan organisasi politik lainnya dalam masyarakat sipil merupakan pertahanan terakhir untuk mencegah usaha potensial eksekutif dalam menumbangkan penegakan hukum dan terwujudnya institusi pemerintahan yang baik.

Bicara tentang substansi dan kualitas demokrasi, berarti kita berbicara tentang politik dalam konteks kekuasaaan, yang sesungguhnya adalah sebuah permainan politik. Dalam sebuah permainan, setiap orang akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi pemenang. Terlebih lagi apabila ‘hasil’ yang dicapai dalam permainan politik tersebut adalah sebuah tahta kekuasaan, yang bila mana ia berhasil mendapatkannya, maka ia pun dapat melakukan prestasi yang baik maupun sesuatu yang buruk. Prestasi yang baik akan dicapai apabila kekuasaan yang diperoleh sebesar-besarnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Tetapi kekuasaan dapat menjadi sebuah mimpi buruk bagi rakyat, jika si pemegang kekuasaan hanya menggunakan suara rakyat yang memilihnya untuk kepentingan pribadi, menumpuk modal ekonomi dan kekuasaan yang lebih besar. Have power, to get more money, and with more power, you will get more more money.

Demikian halnya dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat. Pilkada tidak lebih dari sebuah permainan politik. Tiap-tiap kandidat dan partai politik berusaha keras untuk memenangkan permainan ini, baik merancang teknik dan strategi serta trik untuk mempengaruhi opini publik agar mengarahkan pilihannya kepada kandidat yang berkompetisi. Tulisan ini bukan untuk mengajak masyarakat bersikap pesimis, tapi mengajak masyarakat untuk bersikap dan memandang segala sesuatu mengenai pilkada secara realistis. Pilkada adalah sebuah permainan politik! Kandidat manapun, partai manapun akan berusaha memenangkan suara rakyat sebesar-besarnya. Tidak ada satupun elemen politik yang mengikuti pilkada tidak berambisi atau tidak memiliki target sebagai pemenang dalam pertarungan politik yang cukup bergensi tersebut.

Di dalam ilmu politik, teori permainan politik mendapat tandingan dari teori pilihan rasional, karena pilkada adalah sebuah permainan politik, maka yang memegang peranan penting yang menjaga kualitasnya adalah rakyat sebagai pemilih rasional. Seperangkat hukum dan upaya perbaikan sistem pemilihan yang ideal tidak akan berperan banyak apabila masyarakat tetap saja tidak rasional dalam memilih. Seperti yang dikatakan Hobbes, rasionalitas merupakan sarana penting untuk menjamin tercapainya tujuan yang diinginkan. Karena itu bukan hanya kandidat, parpol dan organisasi pelaksana (birokrasi dan KPUD) melainkan juga rakyat pemilih perlu mempersiapkan diri menyambut pilkada Jawa Barat nanti. Rakyat pemilih hendaknya mencari informasi tentang pilkada dan kandidat yang berkompetisi sebanyak mungkin dalam upaya meningkatkan pengetahuan politik. Dengan cara demikian, rakyat pemilih diharapkan tidak terpengaruh terhadap mobilisasi dan manipulasi politik selama proses pilkada berlangsung.

Gabriel J. Roberts (2005) menyarankan beberapa informasi yang perlu diketahui rakyat pemilih dalam meningkatkan pengetahuan politik mereka, yaitu:

Pertama, kualifikasi kandidat seperti pendidikan formal, pelatihan yang pernah diikuti termasuk juga riwayat pekerjaan serta pengalaman hidup yang relevan dengan kedudukannya nanti sebagai politisi dan calon pemimpin daerah.

Kedua, orientasi politik dan filosofi kehidupan yang diyakini kandidat yang relevan dengan kedudukannya sebagai politisi atau pemimpin daerah. Apakah ia berorientasi kepada tahta dan kekuasaan, orientasi pada kesejahteraan rakyat dan keadilan, ataukah berorientasi pada kemajuan pembangunan dan modernisasi.

Ketiga, bagaimana karakter kandidat dapat menentukan kualitas kepemimpinannya. Kualitas kepemimpinan kandidat sangat penting karena dapat mendukungnya dalam menjalankan program kerja yang diusung kandidat tersebut.

Keempat, kemampuan administratif dan responsibilitas yakni kemampuan dalam mengelola pemerintahan/organisasi serta rasa tanggung jawab yang tinggi.

Kelima, program kerja, isu dan argumen yang diusung kandidat relevan dengan isu-isu yang berkembang di daerah. Apakah isu dan program yang diusung oleh kandidat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan serta potensi yang ada di daerah?

Selain Gabriel J. Roberts, Newman (1999) dalam bukunya The Mass Marketting Of Politics, Democracy In Age Of Manufacturer, juga memberikan masukan mengenai bagaimana seorang pemilih dapat menentukan pilihan secara rasional. Newman menyatakan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih selalu berusaha melihat sang kandidat secara utuh. Dalam bukunya yang lain (1985) Newman juga menjelaskan individu dalam perannya sebagai pemilih dipengaruhi oleh tujuh domain kognitif, yaitu :

Pertama, program dan kebijakan publik, seorang kandidat akan dinilai oleh pemilih melalui program dan kebijakan publik yang dijanjikan kandidat kelak jika ia terpilih. Apakah program tersebut sesuai dengan keinginan, tuntutan dan kebutuhan sebagaian besar rakyat pemilih.

Kedua, citra sosial, masyarakat pemilih harus memperhatikan citra kandidat. Dalam pikiran pemilih seorang kandidat harus menginformasikan mengenai keberadaannya dalam posisi apa, tergolong kelompok sosial mana, dan partai apa yang mengusung kandidat tersebut.

Ketiga, perasaan, yaitu penilaian pemilih terhadap perilaku ataupun aktivitas sang kandidat dalam memberikan pendapatnya dan pemikirannya atas sebuah peristiwa besar yang baru saja terjadi atau menjadi isu yang mutakhir.

Keempat, karakter yang bisa dinilai masyarakat pemilih sebagai sifat-sifat personal dari seorang kandidat.

Kelima, peristiwa mutakhir, (current event/affair) yang meliputi isu, kegiatan dan kebijakan sang kandidat menjelang pelaksanaan pemungutan suara.

Keenam, peristiwa personal, yaitu saat pemilih akan memberikan penilainnya terhadap jalinan kehidupan sang kandidat. Seperti apakah kehidupan kandidat itu, apakah seorang tokoh agama, birokrat atau pengusaha?

Ketujuh, yaitu isu-isu yaitu seputar aktivitas yang dilakukan dengan cermat untuk memancing keingintahuan pemilih terhadap kandidat. Apakah pemilihan isu yang diunggulkan kandidat sesuai dengan permasalahan dan potensi yang ada daerah. Pemilihan isu yang tepat akan membuat pemilih mengenal sosok kandidat sebagai figur yang benar benar bisa diandalkan dalam memecahkan persoalan publik dan pemerintahan.

Pemilih Rasional dan Keberhasilan Demokrasi

Informasi-informasi diatas merupakan syarat kunci agar rakyat pemilih dapat menentukan pilihan secara rasional terhadap kandidat yang berkompetisi. Kemampuan rakyat pemilih untuk mengakses informasi yang benar, update dan dapat dipercaya menunjukkan karakter demokrasi yang berkualitas dari suatu negara. Menurut Webster, karakteristik demokrasi adalah persoalan yang serius dan apa adanya, jadi demokrasi yang partisipatif menuntut beberapa tingkatan pengetahuan mengenai isu-isu yang berkembang, jadi jika warga negara akan memainkan peran yang penuh dalam proses politik, maka mereka harus membuat pengetahuan-pengetahuan itu hadir dalam diri mereka dan membiarkan untuk digunakan secara efektif.

“The character of democracy is a sober and serious matter so is participatory democracy requires some level of knowledge of the issues, so if citizens are to play a full part in the political process, then they must have made available to them, the knowledges that allows for effective enggagement (Frank Webster, 1995:3)”.

Paul Douglas dan Alice Mc Mahon dalam bukunya “How To be an Active Citizen”, “rasional-aktivis” menunjukkan keberhasilan sebuah demokrasi melibatkan warganegaranya dalam politik, bagaimana masyarakat menyerap pengaruh dan berpengaruh. Selanjutnya jika mereka hendak membuat keputusan khususnya keputusan penting tentang bagaimana memberikan suara mereka, mereka harus menjadikan suara itu sebagai dasar evaluasi terhadap bukti secara berhati-hati dan menimbang alternatif dengan cermat. Tetapi warganegara yang pasif, yang tidak memilih, orang kurang sekali mendapat informasi atau warganegara yang apatis menandakan kelemahan sebuah demokrasi. Pandangan tentang warganegara yang demokratis ini menekankan kegiatan, keterlibatan dan rasionalitas (dalam Sahat Simamora, 1985: 176-178).

Model rasional aktivis yang menuntut informasi (pengetahuan) yang memadai dalam diri warga negara ini menurut Almond, merupakan gambaran tingkah laku politik masyarakat dalam negara demokrasi. Warganegara yang mendapat informasi yang memadai, terlibat, rasional dan aktif lebih sering terdapat di dalam negara demokrasi yang berhasil ketimbang dalam demokrasi yang gagal (dalam Sahat Simamora, 1985: 177).

KESIMPULAN

Bagaimanapun, kualitas demokrasi bukan sekedar tingginya partisipasi, bukan hanya keterbukaan sistem tetapi yang lebih penting lagi adalah sejauh mana masyarakat mampu berpartisipasi (politik) secara efektif dengan cara mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang kandidat peserta pilkada untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam memberikan keputusan dan pilihan rasional. Dengan cara berpikir yang rasional, masyarakat juga diharapkan mau menerima hasil pemilihan dengan lapang dada siapapun pemenangnya. Sebab kualitas demokrasi tidak hanya membutuhkan rasionalitas dalam memilih tetapi juga didukung oleh mentalitas demokrasi, yang mana yang menang tidak merasa memenangkan permainan (baca: pilkada) dan yang kalah bisa menerima dengan tersenyum dan mengambil hikmah dari kekalahannya. Tanpa huru hara, tanpa kerusuhan dan meminimalisasi kerugian negara. Selamat memilih dan selamat berdemokrasi!

Daftar referensi

Alfian, “Pemilihan Umum dan Prospek Pertumbuhan Demokrasi Pancasila”, dalam Mohtar Mas’oed dan Collin MacAndrews (ed), 1995, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah mada University Press

Campbell, David F.J. and Sukosd, Miklos, 2002, “Feasibility Study for A Quality Rangking of Democracies”, Europe: Global Democracy Award

Dahl, Robert A, 1996, The Future Of Democratic Theory”, presented at the Center of Advanced Study in The Social Sciences, Madrid: The Juan March Institute

___________, 1994, “A Democratic Diemma: System Effectiveness versus Citizen Participation”, Political Science Quarterly, Vol. 109, Issue 1 (Spring, 1994), The Academy of Political Science, avalaible at JSTOR Archive, University of Michigan

Dean, Algers, 1989, The Media And Politics, New-Jersey: Prentice-Hall

Dahl, Robert A, 1996, The Future Of Democratic Theory”, presented at the Center of Advanced Study in The Social Sciences, Madrid: The Juan March Institute

Diamond, Larry and Morlino, Leonardo, 2004, “The Quality of Democracy”, Journal of Democracy, Vol. 15, No. 4, Baltimore: Johns Hopkins University

Roberts, Gabriel.J,2005, The Election Management Experience In The Gambia”, Improving The Quality of Election Management, New Delhi

Tentang Penulis

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana FISIP UNPAD bidang kajian Ilmu Politik, kegiatan yang ditekuni saat ini adalah sebagai dosen magang pada jurusan Ilmu Pemerintahan. Penulis pernah meraih juara lomba penulisan essai tentang Korea tahun 1998, 10 besar lomba karya ilmiah militer kelompok perguruan tinggi tahun 1999. Pernah menjadi peneliti di bidang marketting research pada MARS (1999-2000) , peneliti Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) tahun 2000-2001 pada PPK-UGM bekerjasama dengan RAND-USA, serta asisten dosen di Universitas Winaya Mukti (UNWIM) tahun 2001-2002.



[1] Dahl’s Working Paper, 1996, hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar